Ahli Hukum Tata Negara Nilai Revisi UU PPP Mengesankan DPR Ugal-ugalan. Senin, 18 Apr 2022 09:15 WIB

(Investigasintb) Jakarta – Ahli hukum tata negara UGM, Herlambang P Wiratraman menilai revisi UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) mengesankan DPR ugal-ugalan. Sebab, yang diperintahkan MK adalah memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan malah merevisi UU P3.
“Pertama, Revisi UU PPP jelas sekadar melayani kepentingan Omnibus Law, ekonomi politik oligarki,” kata Herlambang dalam diskusi yang digelar LP3ES Jakarta, sebagaimana dilihat di Chanel YouTube-nya. Senin (18/3/2022)

Kedua, kata Herlambang, pembahasan Revisi UU PPP bermasalah karena tidak patuh pada Putusan MK Nomor 91. Selain itu juga tidak pula menganggap penting standar dalam putusan peradilan (judicial precedence), khususnya terkait partisipasi bermakna.

Herlambang P. Wiratraman Foto: Istimewa (Dok Pribadi)
“Ketiga, karakter legislasi terkesan ugal-ugalan, niat jahat untuk tetap upayakan pengesahan ke paripurna,” beber Herlambang.

Keempat, konteks politik hukum legislasi otokratis, yang menempatkan Revisi UU PPP menambah daftar panjang legislasi bermasalah. Sebelumnya yaitu UU IKN, UU Otsus, dan UU Cipta Kerja.

“Hal demikian menegaskan karakter menguatnya otoritarian dalam bentuk baru,” ujar Herlambang.

Kelima, menurut Herlambang, revisi UU PPP memperlihatkan tiga hal. Pertama antisains, kedua antinegara hukum demokratis; dan ketiga antirakyat.

“Mengingkari suara publik, dan ini bentuk nyata negara terus menerus mereproduksi kesewenang-wenangan yang dalam representasi formal ketatanegaraan sebagai represi melalui legislasi,” cetus Herlambang.

Sementara itu, ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari juga menyatakan amar putusan MK hanya memerintahkan perbaikan UU Cipta Kerja. Namun yang terjadi pembentuk UU berencana merevisi sekaligus dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Revisi UU PPP hanyalah upaya ‘menghalalkan’ UU Cipta Kerja yang ‘haram’. Mengerjakannya hanya akan menambah dosa legislasi DPR dan Pemerintah,” ucap Feri.

Setali tiga uang, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti juga menilai serupa. Menurut Bivitri, membuat UU bukan seperti membuat artikel. Sebab ada tanggung jawab yang sangat besar terkait hak-hak konstitusional ratusan juta warga negara Indonesia. Di antaranya rumusan:

RUU yang telah disetujui dan masih terdapat kesalahan teknis penulisan, bisa dikoreksi oleh pimpinan AKD yang membahas dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas.

“Ini menimbulkan ketidakpastian hukum,” cetus Bivitri.

Saat ini DPR sedang mengebut agar revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan segera disahkan. Namun masih terjadi selisih paham di kubu pemerintah, soal siapa yang berwenang mengundangkan. Apakah Kemenkumham atau Sekretariat Negara. Hal itu membuat Wakil Baleg DPR Willy Aditya menyebut pemerintah dalam ini telah melakukan tindakan memalukan. Pasalnya, rapat pleno Baleg saat itu seolah menjadi tempat adu jotos dua kementerian tersebut.

“Pemerintah ini memalukan. Bagi saya, diselesaikan saja di pemerintah. Jangan jadikan DPR sebagai fasilitator dalam keributan ini,” kata Willy pada rapat di kompleks parlemen, Senayan, Rabu (13/4).

(