INVESTIGASINTB, Jakarta – Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengimbau agar pekerja migran yang akan berangkat ke luar negeri tidak hanya berfokus pada Malaysia dan Timur Tengah.
Saya sedang gencar mengimbau, menyarankan agar mengubah orientasi, jangan ke Malaysia dan jangan ke Timur Tengah saja,” kata Benny saat diwawancarai Tempo, Jumat, 1 Juni 2022.
Benny menilai dibanding kedua negara tersebut, banyak negara yang lebih menjanjikan dalam segi upah dan juga undang-undang perlindungan untuk pekerja migran. “Padahal ada negara-negara lain yang lebih menjanjikan gajinya dan undang-undang perlindungannya sangat kuat,” ucapnya.
Benny menjelaskan bahwa gaji yang dapat diperoleh pekerja migran di negara Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong, dan Jerman akan jauh lebih besar dibandingkan yang diberikan kedua negara tersebut.
Misalnya Jepang itu gajinya bisa 22 juta, dan bisa sampai 30 juta dengan bonus dan lembur. Kemudian Korea, Taiwan, Hongkong itu di atas 18 juta, bisa sampai 25 juta, belum Jerman standarnya bisa 34 juta sampai 40 juta,” ujarnya.
Namun, menurutnya, pengetahuan akan negara-negara yang menjanjikan itu belum banyak diketahui oleh masyarakat. “Kalau ke Timur Tengah kan seolah-olah kalau dengan bekerja di sana bisa sekalian saja berumroh,” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya sedang mempersiapkan sosialisasi secara masif untuk memperluas pengetahuan masyarakat yang akan bekerja ke luar negeri agar tidak berfokus hanya kepada dua negara itu saja. “Nah tadi cara melawannya adalah dengan sosialisasi yang secara masif kemudian menyampaikan dalam sosialisasi apa risiko untuk pekerja tidak resmi,” ujarnya.
Kemudian disampaikan bahwa ada negara-negara yang lebih menjanjikan, dua hal minimal, yang memiliki standar gaji yang sangat tinggi dan juga undang-undang perlindungan yang sangat kuat pada pekerja migran,” tambah Benny.
Ia mengaku tengah melaksanakan program penempatan-penempatan secara resmi melalui berbagai metode yang diperbarui. Hal tersebut dilakukan pihaknya agar melahirkan pekerja yang berkompeten.
Misalnya setiap yang akan berangkat resmi harus mengikuti pelatihan. Pelatihan ini akan melahirkan pekerjaan yang memiliki keahlian, keterampilan di bidang pekerjaan yang dia pilih, kemampuan berbahasa asing sehingga dia disebut sebagai pekerja yang kompeten atau memiliki kompetensi,” tuturnya.
Namun hingga kini, tambahnya, anggaran yang diberikan terhadap programnya itu masih sangat lemah. “Naif kita ingin melawan praktek penempatan yang ilegal, tapi di sisi lain kita tidak bisa menciptakan program-program yang ideal untuk menciptakan pekerja yang kompeten yang bisa merebut persaingan peluang kerja yang ini adalah kompetisi global,” katanya.
Red. H.Npn (**)