Hukum  

Generasi Sandwich, Pilar Keluarga yang Rentan Terlupakan”

Investigasintb.com – Di tengah kemajuan teknologi yang pesat saat ini, masalah-masalah kontemporer dalam keluarga menjadi sangat beragam. Salah satu isu yang paling banyak dibicarakan dan sedang hangat diperhatikan adalah fenomena generasi sandwich.

‎”Generasi sandwich Adalah anak muda yang harus menanggung tanggung jawab ganda dalam keluarga. Selain menjalani pendidikan, mereka juga ikut membantu memenuhi kebutuhan keluarga dan mendukung orang tua. Posisi ini membuat mereka memikul beban finansial dan emosional yang besar, meski pengorbanan mereka sering luput dari perhatian. Atau dalam konteks anak yang sudah berumah tangga Generasi sandwich adalah sebutan untuk kelompok orang dewasa usia produktif yang berada di posisi terjepit karena menanggung dua tanggung jawab keluarga sekaligus. Mereka harus mengurus dan menafkahi orang tua yang sudah lanjut usia sekaligus membiayai dan membesarkan anak-anak mereka sendiri.

‎Mereka Adalah pilar keluarga karena menjadi penopang utama rumah tangga, baik secara finansial maupun emosional. Beban finansial berupa biaya kuliah, biaya sekolah adik, dan Mengorbankan tabungan pribadi atau peluang pendidikan tambahan karena harus memprioritaskan kebutuhan keluarga. Serta beban emosional seperti Merasa stres dan pusing karena harus menyeimbangkan waktu belajar dengan tanggung jawab yang ada dalam keluarga, menjadi penengah konflik antara anggota keluarga, misalnya antara orang tua dan adik atau antara ibu dan ayah.

‎Beban emosional yang paling terasa bagi generasi sandwich adalah harus mengorbankan waktu untuk bersosialisasi atau menekuni hobi, karena waktunya banyak tersita untuk mengurus keluarga, padahal tanggung jawab itu seharusnya bukan tugas mereka sebagai anak.

‎Menurut saya, fenomena generasi sandwich saat ini sudah menjadi hal yang lumrah, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Generasi sandwich tidak hanya menyita masa remaja anak, tetapi juga menunjukkan bagaimana banyak orang tua lupa akan hakikat dan batasan tanggung jawab seorang anak. Fenomena ini seringkali menjadi contoh dari kesalahan dalam pengasuhan dan pembagian tugas dalam keluarga. Namun, banyak kasus yang saya temui menunjukkan bahwa anak-anak tidak keberatan membantu orang tua, menafkahi adik, atau anggota keluarga lain, bahkan menjadi tulang punggung keluarga karena kondisi memaksa mereka melakukannya.

‎Meski demikian, pembagian tanggung jawab ini tetap berpotensi menimbulkan masalah baru, terutama ketika salah satu pihak merasa dirugikan atau terbebani. Seperti banyak kasus yang dijelaskan oleh Jurnal Yoii (2025), hampir 48% masyarakat Indonesia termasuk generasi sandwich, terutama mereka yang berusia 20–29 tahun, yaitu usia produktif yang seringkali masih menghadapi tantangan finansial. Hal ini menunjukkan bahwa anak sering diperlakukan sebagai sumber daya atau aset oleh orang tua, baik untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga maupun untuk mewujudkan keinginan orang tua. Kondisi ini menegaskan bahwa generasi sandwich tidak hanya menanggung beban finansial, tetapi juga berisiko mengalami tekanan emosional karena tanggung jawab yang seharusnya bukan menjadi tugas utama mereka sebagai anak. Dari penjelasan diatas, muncul berbagai pertanyaan penting seputar fenomena generasi sandwich.

‎Apakah generasi sandwich memang harus ada? Apakah anak tidak boleh membantu orang tua? Apakah tugas anak hanya sebatas bekerja dan menanggung beban keluarga? Pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul karena posisi generasi sandwich berada di titik yang kompleks mereka dituntut untuk memikul tanggung jawab ganda, tetapi disisi lain masih memiliki hak dan kebutuhan pribadi sebagai anak.

‎Saya melihat fenomena generasi sandwich tidak hanya terkait dengan beban finansial atau tanggung jawab langsung terhadap keluarga, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal, termasuk pola asuh orang tua dan dinamika lingkungan sekitar. Dalam banyak kasus, tekanan yang dirasakan generasi sandwich muncul dari ekspektasi orang tua yang tinggi, baik yang disampaikan secara langsung maupun yang tersirat. Orang tua sering menanamkan nilai tanggung jawab dan kemandirian sejak dini, yang sebenarnya penting untuk pembentukan karakter anak, tetapi dalam konteks generasi sandwich, hal ini dapat menjadi beban tambahan. Anak-anak merasa harus selalu siap membantu keluarga dan memenuhi harapan orang tua, meskipun hal itu kadang bertentangan dengan kebutuhan dan aspirasi pribadi mereka. Faktor internal lainnya berasal dari kondisi psikologis anak itu sendiri. Rasa tanggung jawab, empati yang tinggi, serta keinginan untuk menyenangkan orang tua membuat mereka bersedia memikul peran ganda. Dalam banyak situasi yang saya temui, anak muda rela menunda atau menyesuaikan rencana pribadi, seperti membeli barang yang diperlukan keluarga daripada membeli kebutuhannya sendiri, demi menjaga keharmonisan keluarga. Sifat internal ini menjadi salah satu alasan mengapa generasi sandwich tetap menjalankan perannya, meskipun kadang menimbulkan stres atau tekanan batin. Selain faktor internal, faktor eksternal juga memainkan peran penting. Lingkungan sosial, seperti tetangga, teman, atau masyarakat luas, sering memberikan tekanan terselubung berupa perbandingan atau harapan tertentu. Misalnya, ada anggapan bahwa anak yang mampu membantu orang tua dan adik dianggap bertanggung jawab dan dewasa, sementara yang tidak dianggap kurang peduli. Tekanan ini memperkuat peran ganda yang harus dijalani anak sebagai generasi sandwich.

‎Selain itu, kondisi ekonomi keluarga dan sistem sosial di masyarakat juga menjadi faktor eksternal yang signifikan. Anak-anak dari keluarga berpenghasilan menengah ke bawah, misalnya, cenderung lebih cepat menghadapi situasi di mana mereka harus mengambil peran penting dalam menopang keluarga, baik secara moral maupun sosial. Dari sisi hubungan internal keluarga,

‎komunikasi yang kurang terbuka juga dapat memperkuat beban generasi sandwich. Ketika orang tua tidak menyampaikan batasan atau tanggung jawab secara jelas, anak sering kali merasa harus menebak dan memenuhi semua kebutuhan keluarga tanpa panduan yang pasti. Hal ini membuat mereka menghadapi dilema antara kewajiban dan hak pribadi, yang bisa menimbulkan tekanan psikologis tambahan.
‎Dalam hal ini teori yang paling relevan untuk membahas terkait generasi sandwich Adalah Teori Pertukaran Sosial oleh George C. Homans yang memandang hubungan antar individu sebagai bentuk pertukaran antara pengorbanan dan keuntungan. Anak-anak atau remaja yang menjadi generasi sandwich memikul tanggung jawab besar dalam keluarga, mulai dari membantu membiayai kebutuhan adik, mendukung pendidikan, hingga merawat orang tua yang sudah lanjut usia. Dalam pandangan ini, waktu, tenaga, dan kesempatan pribadi yang mereka korbankan menjadi “biaya” yang harus ditanggung, sementara imbalan berupa pengakuan atau dukungan seringkali tidak sebanding dengan usaha mereka. Teori pertukaran sosial juga menekankan bahwa hubungan sosial berjalan lancar ketika ada keseimbangan antara pengorbanan dan imbalan. Jika anak terlalu banyak berkorban tanpa mendapatkan dukungan atau apresiasi, muncul stres, konflik, atau perasaan tidak adil. Fenomena ini menggambarkan mengapa generasi sandwich sering menjadi pilar keluarga yang rentan terlupakan. Dengan memahami perspektif ini, keluarga dapat lebih bijak dalam membagi tanggung jawab, memberikan pengakuan, dan menciptakan hubungan yang seimbang, sehingga generasi sandwich dapat menjalankan perannya tanpa kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara pribadi.

‎Jadi saya melihat dan merasakan bagaimana dampak dari Fenomena generasi sandwich, yang dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, tekanan internal, dan faktor eksternal, memiliki dampak yang cukup kompleks bagi kehidupan anak-anak yang masih sekolah atau kuliah. Dampak ini tidak hanya bersifat individual, tetapi juga dapat memengaruhi dinamika keluarga dan lingkungan sosial secara lebih luas. Salah satu dampak yang paling nyata adalah pada kesejahteraan psikologis anak. Ketika anak terus-menerus merasa harus memenuhi harapan orang tua dan menangani tanggung jawab keluarga, mereka berisiko mengalami stres kronis, kecemasan, dan perasaan terbebani. Tekanan ini dapat mengganggu konsentrasi dalam belajar, menurunkan motivasi akademik, dan bahkan mempengaruhi prestasi di sekolah atau kampus. Seperti judul yang saya pilih, “Generasi Sandwich, Pilar Keluarga yang Rentan Terlupakan,” fenomena generasi sandwich menunjukkan bagaimana anak-anak atau orang dewasa muda menjadi tulang punggung keluarga, tetapi sering tidak mendapat pengakuan yang seharusnya. Mereka menanggung tanggung jawab ganda dan Meskipun kontribusi mereka sangat besar, Peran mereka jarang terlihat secara langsung karena masyarakat dan anggota keluarga lebih fokus pada kebutuhan anak-anak atau orang tua yang dibantu. Akibatnya, pengorbanan, usaha, dan waktu yang mereka alokasikan untuk keluarga sering tidak mendapat apresiasi. Kondisi ini tidak hanya membuat generasi sandwich merasa kurang dihargai, tetapi juga berpotensi menimbulkan tekanan psikologis dan emosional.

‎Dari penjelasan diatas, saya menyimpulkan bahwa generasi sandwich adalah anak atau remaja yang memegang peran penting dalam keluarga, membantu orang tua sekaligus mendukung adik atau anggota keluarga lain. Mereka sering menghadapi tekanan dari tanggung jawab yang besar, baik secara finansial maupun emosional, sehingga pengorbanan mereka kerap luput dari perhatian. Menurut Teori Pertukaran Sosial George C. Homans, interaksi sosial dipandang sebagai pertukaran antara biaya dan manfaat. Dalam konteks ini, waktu, tenaga, dan kesempatan pribadi yang dikorbankan generasi sandwich menjadi “biaya”, sementara imbalan berupa pengakuan dan dukungan sering tidak seimbang, yang menimbulkan stres dan beban psikologis. Faktor dari orang tua, lingkungan, dan rasa tanggung jawab pribadi membuat mereka tetap menjalani peran ganda ini. Oleh karena itu, penting bagi keluarga dan masyarakat untuk memberikan dukungan dan pengakuan yang adil, agar generasi sandwich dapat membantu keluarga tanpa kehilangan kesempatan untuk belajar, bersosialisasi, dan mengembangkan diri secara optimal.

Penulis: YulhizamEditor: H. Napsin, SH