Presiden Partai Buruh mengatakan akan demo di depan DPR pada 8 Juni, juga serentak di depan kantor gubernur masing-masing wilayah provinsi.
Investigasintb, Jakarta — Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyatakan pihaknya bersama dengan elemen serikat buruh yang terafiliasi dengan parpolnya akan melakukan demonstrasi besar-besaran di depan kompleks parlemen, Jakarta Pusat, pada Rabu (8/6).
Aksi ini merupakan bentuk respons Partai Buruh terhadap DPR yang secara resmi telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
“Melakukan aksi besar-besaran pada tanggal 8 Juni 2022 yang melibatkan puluhan ribu buruh di DPR RI,” kata Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya.
Ia mengatakan secara bersamaan aksi tersebut akan dilakukan secara serempak di sejumlah kota industri yang akan dipusatkan di kantor gubernur masing-masing wilayah.
DPR Resmi Sahkan Revisi UU PPP Terkait Omnibus Law
Said mengatakan aksi besar-besaran ini bakal digelar selama tiga hari berturut-turut. Massa aksi akan membawa tuntutan menolak dibahasnya kembali Omnibus Law UU Cipta Kerja.
“Kami mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Mei 2022 tentang revisi UU PPP tersebut,” kata Said.
Menurutnya, revisi terhadap UU PPP hanya sebagai akal-akalan hukum. Bukan sebagai kebutuhan hukum.
“DPR bersama pemerintah melakukan revisi UU PPP hanya sebagai akal-akalan hukum agar omnibus law UU Cipta Kerja bisa dilanjutkan pembahasannya agar bisa segera disahkan,” ujarnya
Lebih lanjut, Said mengatakan setidaknya ada dua alasan mengapa pihaknya menolak keras revisi UU PPP yang disahkan DPR pada hari ini, Selasa (24/5).
Pertama, dari sisi pembahasan di Baleg DPR RI, revisi UU PPP tersebut bersifat kejar tayang.
“Kalau revisinya dikebut bersifat kejar tayang, bisa disimpulkan jika isi revisi sangat bermuatan kepentingan sesaat. Tidak melibatkan publik yang meluas dan syarat kepentingan dari kelompok tertentu,” kata Said.
Angin Segar Parpol Raup Untung di Tengah Panas Dingin PBNU dan PKB
Kedua, dari sisi revisi UU PPP tersebut, Said menyatakan ada tiga hal prinsip yang berbahaya bagi publik. Khususnya bagi buruh, tani, nelayan, masyarakat miskin kota, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia (HAM).
Pertama, revisi UU PPP untuk sekedar memasukkan omnibus law sebagai sebuah sistem pembentukan undang-undang.
Kedua, dalam proses pembentukan UU tidak melibatkan partisipasi publik secara luas karena cukup dengan dibahas di kalangan kampus tanpa melibatkan partisipasi publik, maka sebagai undang-undang sudah dapat disahkan.
“Ketiga, yang lebih berbahaya adalah dalam revisi UU PPP ini diduga memungkinkan dua kali tujuh hari sebuah produk undang-undang yang sudah diketuk di sidang paripurna DPR dapat berubah,” pungkasnya. (**)